Sertifikat Kopi Jangan Jadi Monopoli Baru
Bandarlampung &ndashSertifikat kopi yang mulai menjadi persyaratan ekspor jangan menjadi bentuk monopoli baru yang merugikan petani kopi. Karena itu sertifikat tersebut harus dimiliki petani, bukan eksportir sehingga petani bebas menjual produknya.
 
Demikian dikatakan Ketua Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Daerah Lampung, Sumita seusai rapat kordinasi Tim Pembina Perkopian Provinsi Lampung di Gedung AEKI Telukbetung, akhir pekan lalu.
 
Menurut Sumita, kini sejumlah roaster di luar negeri mulai memberlakukan persyaratan adanya sertifikat atas kopi yang mau dijual ke mereka. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, para eksportir mengurus sertifikat kopi yang akan diekspor.
 
Yang jadi persoalan adalah sertifikat tersebut dipegang oleh eksportir, bukan oleh petani di mana kopinya yang disertifikatkan. Karena itu petani terpaksa menjual kopinya kepada eksportir yang memegang sertifikat tersebut. Padahal harusnya sertifikat tersebut dimiliki oleh petani dan mereka bebas menjual produknya. Bukan malah terpaksa menjual ke satu eksportir yang memegang sertifikat kopi mereka.
 
&ldquoKalau demikian maka sertifikat bakal menjadi bentuk monopoli baru yang jelas-jelas sangat merugikan petani karena eksportir bisa menekan harga pembelian kopi dari petani,&rdquo jelas Sumita di dampingi dua Wakil Ketua AEKI Lampung, masing-masing Desmond Tahir dan Djoni.
 
Selain itu, pihaknya berharap kerjasama dari para eksportir dalam proses sertifikasi tersebut. "Sertifikat kopi, idealnya harus sinkron dengan pembinaan terhadap petani," tutur Sumita.
Sumita menjelaskan, dalam proses sertifikasi tersebut, nantinya akan melibatkan Tim Perkopian Lampung yang sudah terbentuk dengan mengacu kepada SK Gubernur. Tim Perkopian ini diketuai Asisten II Sekprov Lampung. Sementara AEKI akan bertindak sebagai lembaga pengawas.
 
"Jadi aktivitas permintaan kopi dari pembeli harus mengacu rekomendasi dari Tim Perkopian. Kami akan konsisten melakukan pengawasan, sehingga prosesnya (sertifikasi) tidak semena-mena," jelasnya.
Sumita mencontohkan, penyimpangan terkait akurasi dan sinkronisasi sertifikasi masih kerap terjadi. Seperti penjualan kopi yang semestinya berada pada kualitas grade 1, namun dijual dengan grade 5. Praktek semacam ini, kata Sumita, bakal menjadi penghambat perkembangan penjualan kopi Lampung.
Kopi Impor
Selain itu, Tim Pembina Perkopian Lampung, ungkap Sumita, akan mengawasi mutu kopi yang diekspor maupun yang diimpor. Pasalnya, sering terjadi biji kopi yang sudah memiliki sertifikat SNI (Standar Nasional Indonesia) masih ditolak oleh pembeli di luar negeri. &ldquoKami berharap ketika kopi sudah memiliki SNI maka tidak lagi ditolak yang kita curigai sebagai upaya pembeli untuk menjatuhkan harga,&rdquo ungkapnya.
 
Lalu terhadap biji kopi yang diimpor untuk diolah di dalam negeri, menurut Sumita, perlu juga diawasi. Apakah kopi tersebut layak konsumsi. Artinya tidak mengandung residu kimia di atas ambang batas dan kandungan mikrobatoksin yang dilarang.
 
Direktur CV Putra Nusantara ini mengakui, seiring naiknya harga kopi belakangan ini pabrikan pengolahan kopi lokal mengimpor biji kopi mutu rendah untuk diolah menjadi kopi siap saji. &ldquoBiji kopi mutu rendah ini yang perlu kita awasi. Jangan sampai rakyat kita mengkonsumsi kopi yang tidak layak atau negara kita jadi pembuangan kopi yang tidak laku dari negara produsen lain,&rdquo tambah Sumita.
Sementara itu, berdasar data dari AEKI Lampung, realisasi ekspor kopi Lampung pada September 2013 tercatat mencapai 103,509 juta dolar AS. Angka ini meningkat signifikan dibandingkan Agustus 2013 yang hanya sebesar 67,241 juta dolar AS. (PR)