Memperingati Hari Radio Nasional dan HUT RRI ke 76

Tanggal 11 September selalu diperingati sebagai Hari Radio Nasional sekaligus diperingati sebagai hari kelahiran Radio Republik Indonesia (RRI).

RRI berdiri pada 11 September 1945, hampir genap sebulan setelah siaran Hoso Kyoku, radio milik Jepang, dihentikan tanggal 19 Agustus 1945. Masyarakat kala itu tidak lagi mengakses informasi mengenai yang harus dilakukan setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Pada saat itu beredar kabar melalui radio-radio luar negeri bahwa tentara Inggris yang mengatasnamakan sekutu akan menduduki Jawa dan Sumatera. 

Berdasarkan informasi tersebut, tentara Inggris dikabarkan akan melucuti tentara Jepang dan memelihara keamanan sampai pemerintahan Belanda dapat menjalankan kekuasaannya kembali di Indonesia.

Pihak sekutu sendiri ternyata masih mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia. Melalui radio-radio luar negeri diketahui bahwa kerajaan Belanda dikabarkan akan mendirikan pemerintahan benama Netherlands Indie Civil Administration (NICA).

Orang-orang yang pernah aktif di radio Hosu Kyoku pada masa penjajahan Jepang sebelumnya jadi sadar bahwa radio merupakan alat yang diperlukan oleh pemerintah Republik Indonesia (RI) dalam berkomunikasi dan memberi tuntunan kepada rakyat mengenai apa yang harus dilakukan. 

Berkumpullah delapan orang yang pernah bekerja radio Hosu Kyoku yang ada di Jawa dalam satu pertemuan bersama pemerintah pada 11 September 1945 pukul 17.00 WIB. Para delegasi radio itu berkumpul di bekas gedung Raad Van Indje Pejambon dan diterima sekretaris negara. 

Diketahui pula, para delegasi radio yang mengikuti pertemuan adalah Abdulrahman Saleh, Adang Kadarusman, Soehardi, Soetarji Hardjolukita, Soemarmadi, Sudomomarto, Harto, dan Maladi. Abdulrahman Saleh yang dipercayakan sebagai ketua delegasi menguraikan garis besar rencana pada pertemuan tersebut. 

Uraian pernyataan Adulrahman sendiri mengenai himbauan pemerintah untuk mendirikan radio sebagai alat komunikasi antara pemerintah dengan rakyat. 

Himbauan tersebut terdorong oleh rencana tentara sekutu yang akan mendarat di Jakarta akhir September 1945, karena Radio dianggap alat komunikasi yang lebih cepat dan tidak mudah terputus saat pertempuran.

Para delegasi radio berencana menggunakan studio dan pemancar-pemancar radio Hoso Kyoku. Namun sekretaris negara dan para menteri menyatakan keberatan karena alat-alat tersebut sudah terdaftar sebagai barang inventaris sekutu.

Dalam pertemuan itu, Abdulrachman Saleh juga membacakan beberapa kesimpulan yakni dibentuknya Persatuan RRI yang akan meneruskan penyiaran dari 8 stasiun di Jawa, memersembahkan RRI kepada Presiden dan Pemerintah RI sebagai alat komunikasi dengan rakyat, serta mengimbau supaya semua hubungan antara pemerintah dan RRI disalurkan melalui Abdulrachman Saleh. Meski tidak sependapat dalam beberapa hal, pihak pemerintah menyanggupi simpulan tersebut dan siap membantu RRI.

Sekitar pukul 24.00 WIB, para delegasi dari 8 stasiun radio di Jawa melanjutkan rapat di rumah Adang Kadarusman. Peserta yang ikut rapat saat itu adalah 

Perwakilan Purwokerto: Soetaryo, perwakilan Yogyakarta: Soemarmad dan Soedomomarto, perwakilan Semarang: Soehardi dan Harto, perwakilan: Surakarta Maladi dan Soetardi Hardjolukito, perwakilan Bandung Darya, Sakti Alamsyah, dan Agus Marahsutan.

Hasil akhir dari rapat yang dilaksanakan di rumah Adang Kadarusman adalah didirikannya RRI dengan Abdulrachman Saleh sebagai pemimpinnya. (RRI)