Harga Belum Signifikan, Petani Enggan Fermentasi Biji Kakao

Lampung Timur &mdashPara petani kakao di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung mengeluhkan harga biji kakao hasil fermentasi belum begitu signifikan selisihnya dengan biji kakao alasan. Akibatnya petani belum termotivasi untuk memproduksi biji kakao ferementasi.

 

Ketua Gapoktan Asih Jaya Makmur, Desa Pakuon Aji, Kecamatan Sukadana, Kamsari mengatakan, saat ini harga biji kakao fermentasi dengan kadar air 7% rata-rata Rp26.500kg, lebih tinggi Rp4 ribu dibandingkan dengan biji kakao asalan Rp22.500kg.

 

Menurut dia, selisih harga sebesar itu masih belum memotivasi petani untuk memproduksi biji kakao fermentasi mengingat untuk memfermentasi biji kakao butuh waktu lebih lama. Karena itu ia berharap harga biji kakao fermentasi lebih mahal lagi sehingga bisa mendorong anggotanya untuk lebih banyak memproduksi kakao fermentasi. Sebab dengan 700-ha luas kebun kakao dari sekitar 350 petani dari 7 kelompok tani anggota gapoktan baru sebagian kecil yang diproses secara fermentasi.

 

&ldquoBiji kakao fermentasi yang kami hasilkan masih sebagian kecil,&rdquo akunya di Desa Pakuon Aji, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Timur, Minggu (89) siang.

 

Selain itu penyebab masih kurangnya minat petani memproduksi biji kakao fermentasi karena petani harus menunggu buah kakao betul-betul tua baru dipetik. Berbeda jika memproduksi biji kakao asalan di mana buah kurang tua pun sudah bisa dipetik dan dijadikan biji kakao asalan.

 

Sejak 4 tahun terakhir, Gapoktan yang dipimpinnya menjalin kemitraan dengan produsen coklat Delfi melalui PT Mutiara Prima dari Bandung untuk pengadaan kakao fermentasi. Saat ini gapoktan yang beranggotakan 7 kelompok tani ini memasok 3 tonbulan biji kakao fermentasi ke perusahaan produsen coklat tersebut.

 

Di tempat terpisah Ketua Gapoktan Sumber Rezeki Desa Sumberhadi, Kecamatan Melinting, Kabupaten Lampung Timur Agus Widodo menyatakan, proses fermentasi biji kakao belum  belum bisa diterapkan di kelompoknya karena itu dalam kemitraan dengan Delfi mereka diplot untuk pengadaan biji kakao asalan.

 

&ldquoKendalanya di SDM petaninya yang belum siap untuk melakukan fermentasi. Petani belum terbiasa memetik kakao tua, lalu menjual kakao mentah ke kelompok. Lalu selisih harga antara kakao fermentasi dengan nonfermentasi belum sigfinikan sehingga tidak mendorong petani untuk melakukan fermentasi,&rdquo ungkap Agus yang di desanya dijuluki warganya juragan kakao itu.

 

Ia menilai, minimal harga biji kakao fermentasi lebih mahal Rp7.500kg dibandingkan dengan kakao asalan. Jika saat ini harga biji kakao asalan Rp22.500kg, seharusnya harga biji kakao fermentasi minimal Rp30 ribukg. &ldquoDengan selisih sebesar ini saya yakin anggota mulai termotivasi untuk memproduksi biji kakao fermentasi,&rdquo jelas Agus yang dijuluki warganya juragan coklat tersebut.

 

Kendati masih memproduksi biji kakao asalan, Gapoktan Sumber Rezeki sudah memiliki sertifikasi antara lain, sertifikat UTZ, dan RA (Rainforest Alliance).

 

Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Lampung Timur, luas perkebunan kakao di daerah itu mencapai 11.000 ha yang terdiri atas 4.673 ha tanaman belum menghasilkan, 9.242 ha tanaman produktif dan 385 ha tanaman nonproduktif. Sementara luas perkebunan kakao di Provinsi Lampung mencapai 39.576 ha dengan produksi 26.364 pada tahun 2012 lalu. (PR)